Nama tempat di mana saya live in di komunitas Magepanda adalah Kampung Baru. Saya tidak menyangka bahwa nama tempat itu sama dengan nama tempat lahir saya. Saya dan keluarga asuh saling berkenalan dan sharing. Belum ada 10 menit bercerita, tiba-tiba orang-orang sekitar rumah itu berdatangan. Mamak asuh membuatkan minuman meskipun tanpa penganan. Mamak segera pergi ke warung dan membeli roti. “Mamak, tidak perlu repotrepot”, sahut saya. Banyak orang berdatangan, tetapi karena tidak ada kursi, maka mereka membawa kursi dari rumah mereka masingmasing. Mereka bercerita pengalaman hidup mereka, penghasilan di daerah mereka.
Hari beranjak siang dan rumah terasa agak panas karena banyaknya orang. Asap dari dapur masuk ke dalam rumah tempat kami berbincangbincang. Sambil memasak air di rumah, bapak mengajak ke balai-balai. Beberapa orang pamit untuk pergi ke kebun dan memberi makan sapi. Setelah itu, kami pergi ke sawah untuk mencari makan babi. Sepanjang jalan ada yang berkata, “Loh, kenapa suster dibawa mencari makanan babi?” “Tidak apa-apa, mamak.” jawab saya. Di kebun, kami mencari makanan babi dan bunga pepaya untuk makan siang. Segera kami pulang untuk mengolahnya. Bapak juga baru tiba dari mencari ikan. Mereka harus mencari lauk untuk makanan besok.
“Ikan ini semalam baru ditangkap.” kata bapak. Kami memasak di rumah itu bersama. Tidak hanya mamak, ada juga mamak-mamak lainnya yang menolong. Ada empat mamak memasak, bapak mengupas kelapa, dan kami memetiki bunga pepaya serta membuat bumbu. Pkl. 13.30 WITA kami makan siang bersama tetangga sekitar dengan bersempit-sempitan ria. Sambil bercerita kami sharing tentang budaya dan adat di daerah itu. Di rumah yang kecil ini, ada tiga keluarga yang tinggal. Mereka bercerita kesulitan dan tantangan keluarga mereka. Mereka bekerja di petak orang dengan penghasilan Rp 25.000 per hari. Mereka juga tidak memiliki kebun. Bahkan bunga pepaya yang kami nikmati itu milik orang lain.
Sore hari, bapak pamit mendahului karena harus mencari ikan di laut untuk esok. Saya melihat walaupun hidup dalam kesederhanaan, mereka bahagia. Ketika kami makan bersama dengan hidangan seadanya terpancar keceriaan di mata mereka. Bahagia itu sederhana. Bahagia itu pilihan. (Sr. Clara Michelina, PIJ)